Jakarta, NU
Online
Puisi Ibu
Indonesia karya Sukmawati Soekarnoputri yang dibacakannya pada gelaran
fashion show Anne Avantie beberapa waktu lalu, menuai protes dari kalangan yang
mengatasnamakan umat Islam. Bahkan, ada yang melaporkannya ke polisi karena
dinilai melakukan penistaan agama.
Intelektual
muda NU, Hasan Basri Marwah menilai, puisi Sukmawati Soekarnoputri dengan cara
pandang semacam itu merupakan narasi produk sekolahan borjuasi kolonial.
“Islam
sebagai momok itu khas tularan kolonial yang menimpa para borjuasi kolonial,”
katanya ketika diminta pendapat NU Online, Selasa (3/4), terkait
kontroversi puisi Sukmawati Soekarnoputri yang viral di media sosial.
Sebagaimana
diketahui, puisi Sukmawati Soekarnoputri dianggap menyinggung perihal syariat
Islam, cadar, dan suara adzan.
Hampir
senada, Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU KH Ng. Agus
Sunyoto berpendapat, puisi Sukmawati merupakan narasi cara pandang ketinggalan
zaman karena lahir dari penulis yang merupakan produk sekolahan lama dengan
cara pandang lama.
“Latar
belakang dia (Sukmawati Soekarnoputri, red), generasi masa lampau,” katanya
ketika diminta pendapat NU Online terkait kontroversi puisi itu.
Sukmawati
Soekarnoputri, menurutnya, memiliki cara pandang yang tidak melihat pengaruh
agama menguat seperti sekarang ini. Dia seperti orang marhaen melihat
Masyumi.
“Makanya
yang disebut syariat Islam itu ingatannya adalah wong-wong (orang) Wahabi.
Ingatannya ke Masyumi, yang ingin membawa syaraiat Islam ke dasar negara. Kalau
ditanya anti-Islam atau tidak, tanya aja Sukmawati, Megawati, Rahmawati,
agamanya apa? Islam kan? Buat apa PDIP punya Baitul Muslimin kalau bukan orang
Islam,” jelasnya.
Karena
itulah, penulis buku Fatwa Rasolusi Jihad tersebut, menganjurkan untuk
membaca seseorang atau kalangan tertentu dengan cara pandang emik mereka. Bukan
dengan tafsir. Karena tafsir bisa dipelintir.
Lebih
lanjut, ia mengatakan, ayahnya Sukmawati, yaitu Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden pada 5 Juli 1959. Kalau diteliti, dekrit itu berisi, Pancasila kita
kembali pada Piagam Jakarta. Sementara itu, sila pertama Piagam Jakarta isinya
adalah ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.
“Dekrit itu
belum dicabut. Enggak pernah dianulir sampai sekarang. Tak ada Tap MPR yang
membatalkan Dekrit 5 Juli itu,” jelasnya. (Abdullah Alawi)
Read More »
Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. adalah peristiwa yang sangat agung, dari
peristiwa tersebut Nabi memperoleh berbagai macam pengalaman dan pengetahuan
yang sangat bermanfaat bagi kelengkapan dirinya, untuk mengemban tugas yang berat
sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Pengetahuan dan pengalaman yang
paling beharga dalam peristiwa tersebut adalah berkaitan dengan memahami
tanda-tanda kebesaran Allah SWT., baik kebesaran yang ada di alam raya ini yang
dapat ditangkap oleh panca indera ataupun dalam alam ghaib yang tidak dapat
dijangkau oleh indera manusia.
Isra, pengertiannya menurut bahasa adalah perjalanan di malam hari, sedangkan mi’raj adalah tangga untuk naik ke atas. Karena itu pengertian Isra yang dimaksudkan adalah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, sedangkan Mi’raj adalah perjalanan beliau dari masjid al-Aqsa ke Sidrah al-Muntaha. Sidrah al-Muntaha adalah tempat di langit yang bersifat ghaib, tidak mungkin dijangkau oleh panca indera manusia, bahkan tidak dapat dijangkau oleh akal fikiran.
Di antara tujuan diisrakannya Nabi Muhammad SAW, adalah agar beliau mengetahui secara mendalam tanda-tanda keagungan Tuhan, kekuasaan dan kasih sayang-Nya terhadap semua makhluk, peristiwa ini disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami memperlihatkan kepadanya dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-Isra, 1).
Dalam peristiwa Isra Mi’raj, sebagaimana disebutkan berbagai kitab tarikh dan kitab hadits, Nabi Muhammad dan umatnya diperintahkan untuk melaksanakan shalat lima waktu sehari-semalam. (Nur al Yakin, hal. 67 dan Nabi al-Rahmah, 54). Peristiwa Isra Mi’raj menurut para ahli sejarah, selain disebutkan dalam kitab al-Hadits juga diisyaratkan Al-Qur’an pada awal surat an-Najm:
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauannya sendiri melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diwahyukan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cedas dan Jibril itu menampakkan diri dalam bentuk yang asli, sedang ia berada di ufuk yang tinggi. Lalu ia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan”. (Q.S. an-Najm, 1 – 7 dan 10).
Dengan diperintahkannya shalat lima waktu bagi Nabi Muhammad dan umatnya pada malam Isra Mi’raj tersebut, dirasakan betapa pentingnya ibadah shalat harus ditegakkan oleh setiap pribadi Muslim. Dalam Al-Qur’an banyak disebutkan perintah agar menegakkan shalat, perintah itu diulang berkali-kali sampai lebih dari delapan puluh kali. Di dalam hadits juga banyak disebutkan agar setiap Muslim mengerjakan shalat dengan baik, dimana saja mereka berada.
Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang lima dan sangat menentukan kualitas keimanan seorang Muslim, apakah kuat atau lemah. Kalau kita rajin mengkaji ayat demi ayat dari Al-Qur’an dan al-Hadits maka akan dijumpai berbagai pengarahan agar manusia Muslim dapat mengerjakan dan menegakkan shalat dengan baik. Shalat yang baik dan benar adalah shalat yang dikerjakan dengan memenuhi syarat dan rukunnya serta ketentuan-ketentuan lainnya, diikuti dengan gerakan kejiwaan dan disertai rasa khusu’ dan keikhlasan yang mendalam.
Pengertian shalat menurut etimologi adalah doa dan pujian, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya memuji Nabi, wahai orang-orang yang beriman, berdo’alah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kehormatan kepadanya”. (Q.S. al-Ahzab, 56).
Pengertian shalat menurut terminologi adalah “Beberapa ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat rukun tertentu”. Pengertian di atas, baru menggambarkan bentuk shalat secara lahiriyah. Agar melengkapi semua itu, kita ikuti definisi shalat dari segi hakikatnya yaitu: “Menghadapkan hati kepada Allah sehingga dapat mendatangkan rasa takut kepada-Nya dan menanamkan dalam jiwa rasa keagungan-Nya dan kesempurnaan-Nya”.
Shalat sempurna adalah shalat dengan kriteria di atas, shalat yang dilakukan dengan memenuhi syarat, rukun dan ketentuan lain serta diikuti dengan gerakan kejiwaan. Dengan demikian ibadah shalat itu akan berdampak pada sikap mental kita dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang telah melakukan shalat dengan baik dapat mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar.
Dengan ketentuan-ketentuan shalat yang disebutkan di atas, Insyaallah kita akan terhindar dari segolongan orang yang mengerjakan shalat, tetapi pada hakikatnya mereka tidak shalat. Nabi SAW mensitir kelompok ini dalam salah satu haditnya: “Akan datang suatu masa menimpa umatku mereka yang melakukan shalat, padahal sebenarnya mereka tidak shalat”. (H.R. Ahmad).
Dengan memperingati Isra Mi’raj ini, yang insaAllah pada Sabtu 27 Rajab 1439 H / 14 April 2018 semoga kita dapat meningkatkan shalat kita sebaik mungkin, sehingga dapat meningkatkan taqwa kepada Allah SWT. Amiin...
Isra, pengertiannya menurut bahasa adalah perjalanan di malam hari, sedangkan mi’raj adalah tangga untuk naik ke atas. Karena itu pengertian Isra yang dimaksudkan adalah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, sedangkan Mi’raj adalah perjalanan beliau dari masjid al-Aqsa ke Sidrah al-Muntaha. Sidrah al-Muntaha adalah tempat di langit yang bersifat ghaib, tidak mungkin dijangkau oleh panca indera manusia, bahkan tidak dapat dijangkau oleh akal fikiran.
Di antara tujuan diisrakannya Nabi Muhammad SAW, adalah agar beliau mengetahui secara mendalam tanda-tanda keagungan Tuhan, kekuasaan dan kasih sayang-Nya terhadap semua makhluk, peristiwa ini disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami memperlihatkan kepadanya dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-Isra, 1).
Dalam peristiwa Isra Mi’raj, sebagaimana disebutkan berbagai kitab tarikh dan kitab hadits, Nabi Muhammad dan umatnya diperintahkan untuk melaksanakan shalat lima waktu sehari-semalam. (Nur al Yakin, hal. 67 dan Nabi al-Rahmah, 54). Peristiwa Isra Mi’raj menurut para ahli sejarah, selain disebutkan dalam kitab al-Hadits juga diisyaratkan Al-Qur’an pada awal surat an-Najm:
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauannya sendiri melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diwahyukan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cedas dan Jibril itu menampakkan diri dalam bentuk yang asli, sedang ia berada di ufuk yang tinggi. Lalu ia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan”. (Q.S. an-Najm, 1 – 7 dan 10).
Dengan diperintahkannya shalat lima waktu bagi Nabi Muhammad dan umatnya pada malam Isra Mi’raj tersebut, dirasakan betapa pentingnya ibadah shalat harus ditegakkan oleh setiap pribadi Muslim. Dalam Al-Qur’an banyak disebutkan perintah agar menegakkan shalat, perintah itu diulang berkali-kali sampai lebih dari delapan puluh kali. Di dalam hadits juga banyak disebutkan agar setiap Muslim mengerjakan shalat dengan baik, dimana saja mereka berada.
Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang lima dan sangat menentukan kualitas keimanan seorang Muslim, apakah kuat atau lemah. Kalau kita rajin mengkaji ayat demi ayat dari Al-Qur’an dan al-Hadits maka akan dijumpai berbagai pengarahan agar manusia Muslim dapat mengerjakan dan menegakkan shalat dengan baik. Shalat yang baik dan benar adalah shalat yang dikerjakan dengan memenuhi syarat dan rukunnya serta ketentuan-ketentuan lainnya, diikuti dengan gerakan kejiwaan dan disertai rasa khusu’ dan keikhlasan yang mendalam.
Pengertian shalat menurut etimologi adalah doa dan pujian, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya memuji Nabi, wahai orang-orang yang beriman, berdo’alah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kehormatan kepadanya”. (Q.S. al-Ahzab, 56).
Pengertian shalat menurut terminologi adalah “Beberapa ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat rukun tertentu”. Pengertian di atas, baru menggambarkan bentuk shalat secara lahiriyah. Agar melengkapi semua itu, kita ikuti definisi shalat dari segi hakikatnya yaitu: “Menghadapkan hati kepada Allah sehingga dapat mendatangkan rasa takut kepada-Nya dan menanamkan dalam jiwa rasa keagungan-Nya dan kesempurnaan-Nya”.
Shalat sempurna adalah shalat dengan kriteria di atas, shalat yang dilakukan dengan memenuhi syarat, rukun dan ketentuan lain serta diikuti dengan gerakan kejiwaan. Dengan demikian ibadah shalat itu akan berdampak pada sikap mental kita dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang telah melakukan shalat dengan baik dapat mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar.
Dengan ketentuan-ketentuan shalat yang disebutkan di atas, Insyaallah kita akan terhindar dari segolongan orang yang mengerjakan shalat, tetapi pada hakikatnya mereka tidak shalat. Nabi SAW mensitir kelompok ini dalam salah satu haditnya: “Akan datang suatu masa menimpa umatku mereka yang melakukan shalat, padahal sebenarnya mereka tidak shalat”. (H.R. Ahmad).
Dengan memperingati Isra Mi’raj ini, yang insaAllah pada Sabtu 27 Rajab 1439 H / 14 April 2018 semoga kita dapat meningkatkan shalat kita sebaik mungkin, sehingga dapat meningkatkan taqwa kepada Allah SWT. Amiin...
Read More »
Suatu hari
Rasulullah bersama sahabatnya mendapati situasi krisis air. Hingga waktu shalat
Ashar tiba, mereka yang berikhtiar mencarinya di berbagai tempat tidak berhasil
memperolehnya. Air yang tersedia hanyalah air sisa yang jumlahnya tak banyak.
Dalam
situasi tersebut, Nabi melakukan sesuatu yang membuat orang tercengang.
Rasulullah memasukkan tangan beliau ke dalam air sisa yang berada dalam sebuah
wadah itu dan berseru kepada para sahabatnya, "Ayo mulailah berwudhu.
Barakah datang dari Allah."
Para sahabat
menyaksikan di sela-sela jari Nabi memancar air. Para sahabat tak hanya bisa
wudhu dengan sempurna, tapi juga menghilangkan rasa haus karena air juga bisa
diminum. Kisah ini bisa kita temukan dalam 'Umdatul Qari' Syarah Shahih
Bukhari.
Yang menarik
dari cerita tadi adalah kata-kata Rasulullah tentang "al-barakah
mina-Llâh". Kisah tersebut menunjukkan bahwa berkah bersumber dari
Allah, bukan manusia, air, pohon, matahari, atau lainnya. Meskipun, objek yang
diberkahi itu bisa apa saja, termasuk air dan jemari Nabi. Krisis air bukan
halangan bagi para sahabat untuk beribadah, bahkan mereka bisa sekaligus
menyaksikan mukjizat Nabi yang tentu kian meningkatkan keteguhan iman mereka.
Jamaah
shalat Jumat rahimakumullah,
Dalam Lisanul
Arab, "barakah" dimaknai sebagai an-mâ' waz ziyâdah,
tumbuh dan bertambah. Sebagian ulama merinci lagi bahwa berkah adalah
bertambahnya kebaikan (ziyâdaatul khair). Kebaikan yang dimaksud tentu
bukan kenikmatan duniawi, melainkan tingkat kesadaran kita kepada Allah,
taqarrub ilallah.
Berkah
dengan demikian tidak terkait dengan banyak atau sedikitnya harta benda. Orang
yang kaya raya bisa jadi tidak mendapat keberkahan hidup ketika harta bendanya
justru membuatnya merasa perlu dihormati, merendahkan orang miskin,
berfoya-foya, atau untuk aktivitas maksiat. Sebaliknya, kemiskinan bisa
mendatangkan berkah saat hal itu melatihnya bersabar, mensyukuri nikmat, atau
bersikap baik kepada tetangga.
Berkah juga
tidak harus berhubungan dengan kesehatan. Sebab, kondisi sakit pun kadang bisa
membuat orang instrospeksi diri (muhasabah), tobat, dzikir, dan
mengingat-ingat hak-hak orang lain yang mungkin ia langgar. Meskipun, sakit pun
juga bisa berbuah malapetaka ketika seseorang justru lebih banyak mengeluh, mencibir
karunia Allah, atau melakukan sesuatu yang melampaui batas.
Tempat yang
berkah tak mesti subur, sejuk, atau yang pemandangannya indah. Buktinya Allah
memberi keistimewaan kepada tanah Makkah yang gersang. Begitu pula dengan
waktu. Waktu yang berkah belum tentu saat-saat hari raya atau hari berkabung.
Tapi keberkahan waktu itu datang manakala segenap peristiwa di dalamnya membuat
kita sekain dekat dengan Allah.
Jamaah
shalat Jumat rahimakumullah,
Terkait
dengan berkah atau barokah, Rasulullah memberi teladan kepada umatnya
untuk memanjatkan doa ketika memasuki bulan Rajab:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Duhai
Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah
kami dengan bulan Ramadlan.” (Lihat Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf
An-Nawawi, Al-Adzkâr, Penerbit Darul Hadits, Kairo, Mesir)
Bulan Rajab
merupakan salah satu bulan haram, artinya bulan yang dimuliakan. Dalam Islam,
terdapat empat bulan haram di luar Ramadhan, yakni Dzulqa'dah,
Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Saat tiba waktu Rajab, yang Rasulullah minta
adalah keberkahan bulan ini, lalu keberkahan bulan Sya’ban, hingga ia
dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan.
Saat bulan
Rajab tiba, Rasulullah tidak memohon kekayaan, kesehatan, atau kenikmatan
duniawi secara khusus. Beliau berdoa agar dilimpahi keberkahan di bulan Rajab
dan Sya’ban seiring dengan menyongsong bulan Ramadhan. Secara tidak langsung,
doa ini adalah permohonan panjang umur. Tentu saja bukan sekadar usia panjang,
tetapi usia yang bermanfaat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Inti dari
berkah adalah peningkatan taqarrub kita kepada Allah, sehingga kepribadian kita
diliputi oleh sifat-sifat yang mencerminkan perintah Allah: jujur, adil, rendah
hati, peduli sesama, penyayang, tidak serakah, tidak gemar menggunjing atau
menghakimi orang lain, dan lain sebagainya. Kita juga semakin rajin memaknai
setiap aktivitas kita atas dasar nilai ibadah. Bekerja untuk menafkahi keluarga
karena Allah, ikut kerja bakti tingkat RT karena Allah, bertegur sapa dengan
tetangga karena Allah, dan seterusnya.
Apakah kita
tak boleh berdoa memohon harta atau kesehatan di bulan Rajab ini? Tentu saja
boleh. Hanya saja, yang lebih penting dari banyaknya kekayaan dan kesehatan adalah
berkah, yakni suatu kondisi yang mampu menambah ketaatan kita kepada Allah
subhanahu wata’ala.
Diterangkan
dalam Shahih Bukhari, Rasulullah sendiri pernah mendoakan sahabatnya, Anas
dengan pernyataan:
اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالَهُ، وَوَلَدَهُ، وَبَارِكَ لَهُ فِيمَا أعْطَيْتَهُ
Artinya: “Ya
Allah perbanyaklah harta dan anaknya serta berkahilah karunia yang Engkau
berikan kepadanya.”
Kata berkah
di sini merupakan kunci dari segenap nikmat lahiriah. Dengan keberkahan
seseorang tidak hanya kaya harta tapi juga kaya hati: merasa cukup, bersyukur,
dan tidak tamak; tidak hanya mementingkan kuantitas anak, tapi juga kualitasnya
yang shalih, cerdas, dan berakhlak.
Jamaah
shalat Jumat rahimakumullah,
Dari uraian
ini jelas bahwa bulan Rajab menjadi berkah tatkala ada perkembangan dalam diri
kita terkait kedekatan dan ketaatan kita kepada Allah. Ketika keberkahan itu
datang, secara otomatis kualitas kepribadian kita pun meningkat, baik dalam
kondisi sulit maupun lapang, sehat maupun sakit, punya banyak utang maupun
dilimpahi keuntungan.
Keberkahan
di bulan Rajab dan Sya'ban ini penting mengingat kita akan menghadapi bulan
Ramadhan, bulan yang jauh lebih mulia dan berlimpah keutamaan. Semoga kita
menjadi pribadi-pribadi yang senantiasa diberkahi, senantiasa diberi petunjuk,
dan dipanjangkan umurnya hingga bisa menjumpai Ramadhan. Wallahu a'lam.
Read More »
Kewajiban salat tidak datang secara
tiba-tiba. Ia telah lama dilakukan, termasuk oleh Nabi-Nabi terdahulu (Dr. Jawwad Ali, Tarikh
as-Shalah fi al-Islam). Semua agama samawi (Islam,Yahudi, Nasrani, Hanif,
Shabiyah) menjadikan salat sebagai pilar agama (Sami bin Abdullah, Athlas
Tarikh al-Anbiya Wa ar-Rasul).
Salat yang pertama kali diwajibkan dalam Islam adalah salat malam (QS. Al-Muzammil: 1-20). Namun, ketika ayat ke 20 diturunkan, salat malam menjadi sunah. Salat yang diwajibkan adalah salat lima waktu, yang diterima Rasulullah SAW ketika melaksanakan isra’ dan mi’raj pada 27 Rajab tahun ke-2 sebelum hijrah (tahun 622 M).
Makna Salat
Salat yang pertama kali diwajibkan dalam Islam adalah salat malam (QS. Al-Muzammil: 1-20). Namun, ketika ayat ke 20 diturunkan, salat malam menjadi sunah. Salat yang diwajibkan adalah salat lima waktu, yang diterima Rasulullah SAW ketika melaksanakan isra’ dan mi’raj pada 27 Rajab tahun ke-2 sebelum hijrah (tahun 622 M).
Makna Salat
Secara bahasa (etimologi), salat
artinya “berdoa”. Doa adalah
permohonan atau permintaan dari pihak yang lebih rendah (hamba) kepada Pihak
Yang Lebih Tinggi (Allah SWT). Artinya, setiap kita berdoa kepada Allah SWT,
hakikatnya kita sedang bersalat kepadaNya.
Sedangkan secara istilah (terminologi), salat
diartikan sebagai: “Ibadah yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam”. Melalui pengertian ini, dapat kita pahami
bahwa hakikat doa pun ada di dalamnya. Sebab, di dalam bacaan-bacaan salat
terdapat banyak doa, yang berisi upaya merendahkan diri di hadapan Allah dengen mengkui keagunganNya.
Hakikat
Salat
Dalam agama islam salat merupakan tonggak utama
senyampang demikian imam syafii menyebut dengan “ummul ibadah” yang secara implisit mempunyai nilai fundamental.
Salat merupakan suatu pekerjaan bernilai ibadah yang dimulai dengan takbir dan
di tutup dengan salam.
Dilain sisi kita dapati Allah berfirman bahwa shalat dapat
mencegah dari kejelekan dan kemunkaran sebagai konsekuensi. Jika di maknai
secara harfiah semua shalat yang dilakukan dapat berpengaruh demikian Sehingga Hasan Al-Bashri menyatakan: “Jika salat tidak menghalangimu dari
kemaksiatan dan kemungkaran, maka hakikatnya engkau belum salat”
Namun kendati demikian prespektif agama tidak hanya
terbatas pada pemahaman scriptual yang memberikan makna pada aspek harfiah saja
akan tetapi lebih pada pemahaman yang kontekstual sesuai dengan prosedur yang
termaktub secara sistemik mengaruskan pemahaman yang komprehensif, artinya
pemahaman ayat tersebut tidak semata dapat teraplikasi dalam semua salat, masih
ada prespektif lain yang juga perlu dipahami secara betul untuk menemukan
pemahaman yang dialektis yaitu aspek tasawwuf atau akhlak yang juga dalam
setiap praktek shalat harus terikut sertakan.
Di dalam kitab Mizanul Kubra karya
Asy-Sya’rani dijelaskan bahwa salat yang dijadikan
secara berulang merupakan nikmat maha besar, karena manusia diberikan
kesempatan memohon ampun kepada Allah SWT, atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya.
Selain itu, ritual wudlu’ yang dilakukan sebelum salat merupakan salah satu bentuk proses
penyucian jiwa.
Salat juga merupakan bentuk pengakuan akan kebesaran Allah SWT. Pengakuan tersebut
memerlukan pembuktian secara kongkrit. Tidak hanya terbatas di dalam hati, tapi
harus dibuktikan dengan amal. Melalui
salat, kita juga mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup, yaitu
penghambaan diri kepada Allah. Hal itu tergambar dari makna
doa iftitah (doa permulaan salat setelah takbiratul
ihram).
Hikmah lain dari ketentuan waktu salat adalah menjalankan aktifitas
sesuai dengan manajemen Ilahi. Dalam menjalankan aktifitas sehari-hari, Allah
SWT. memberikan jeda waktu untuk mengembalikan stamina melalui salat (tepat
waktu). Disamping itu, pelaksanaan salat tepat waktu mengajarkan manusia untuk
berbudaya disiplin.
Manusia secara naluri selalu membutuhkan sandaran dan pegangan dalam hidup. Allah SWT adalah sandaran utama hidup manusia, yang dapat diaudiensi melalui salat. Salat sangat membantu penyelesaian semua problem kehidupan. Nyaris tidak ada problem yang tidak dapat terselesaikan melalui salat. Tentu saja, harus disertai ikhtiar lahiriah. Salat juga mendidik manusia agar taat kepada pimpinan. Karena, setelah mendengar azan, kita disunnahkan bersegera menuju masjid untuk menunaikan salat berjamaah.
Manusia secara naluri selalu membutuhkan sandaran dan pegangan dalam hidup. Allah SWT adalah sandaran utama hidup manusia, yang dapat diaudiensi melalui salat. Salat sangat membantu penyelesaian semua problem kehidupan. Nyaris tidak ada problem yang tidak dapat terselesaikan melalui salat. Tentu saja, harus disertai ikhtiar lahiriah. Salat juga mendidik manusia agar taat kepada pimpinan. Karena, setelah mendengar azan, kita disunnahkan bersegera menuju masjid untuk menunaikan salat berjamaah.
Salat juga mendidik kita agar memiliki sikap optimis dalam menyongsong masa depan. Karena inti ibadah salat adalah doa, yaitu harapan atau permohonan kepada Allah SWT. yang Maha Mengatur segalanya. Salat juga mendorong kita untuk berani menghadapi problematika kehidupan dengan hati sabar dan tabah.
Salat yang dilakukan secara baik juga dapat menentramkan jiwa. Karena dengan salat, kita akan merasa senantiasa dekat dengan Allah. Hal ini dapat dipahami karena dengan salat berarti berzikir, sedangkan berzikir kepada Allah akan membuahkan ketenteraman hati. “Ketahuilah, hanya dengan berzikir kepada Allah hati akan tentram”.(Q.S. Ar Ra’du : 28).
Tak kalah pentingnya, salat juga mendidik kita agar bersikap sportif
untuk mengakui kesalahan dan dosa. Karena salat merupakan saat yang sangat baik
untuk memohon ampunan kepada Allah SWT.
Pertanyaannya, sudahkah salat menjadi sarana interaksi kita dengan Allah
SWT? Jika tidak, maka salat kita akan termasuk ke dalam kategori yang
disebutkan Allah SWT: “Celakalah orang-orang yang salat, yang lalai akan salat
mereka sendiri. Yaitu orang-orang yang suka pamrih/pamer (dengan salatnya).”
Hasila Kajian rutin NGOPI (Ngobrol Pintar)
UKM KAROMAH STKIP PGRI SUMENEP
Read More »
Langganan:
Postingan (Atom)