Puisi Sukmawati Soekarnoputri Produk Ketinggalan Zaman





Jakarta, NU Online 
Puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati Soekarnoputri yang dibacakannya pada gelaran fashion show Anne Avantie beberapa waktu lalu, menuai protes dari kalangan yang mengatasnamakan umat Islam. Bahkan, ada yang melaporkannya ke polisi karena dinilai melakukan penistaan agama. 

Intelektual muda NU, Hasan Basri Marwah menilai, puisi Sukmawati Soekarnoputri dengan cara pandang semacam itu merupakan narasi produk sekolahan borjuasi kolonial. 

“Islam sebagai momok itu khas tularan kolonial yang menimpa para borjuasi kolonial,” katanya ketika diminta pendapat NU Online, Selasa (3/4)terkait kontroversi puisi Sukmawati Soekarnoputri yang viral di media sosial.

Sebagaimana diketahui, puisi Sukmawati Soekarnoputri dianggap menyinggung perihal syariat Islam, cadar, dan suara adzan.

Hampir senada, Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU KH Ng. Agus Sunyoto berpendapat, puisi Sukmawati merupakan narasi cara pandang ketinggalan zaman karena lahir dari penulis yang merupakan produk sekolahan lama dengan cara pandang lama. 

“Latar belakang dia (Sukmawati Soekarnoputri, red), generasi masa lampau,” katanya ketika diminta pendapat NU Online terkait kontroversi puisi itu. 

Sukmawati Soekarnoputri, menurutnya, memiliki cara pandang yang tidak melihat pengaruh agama menguat seperti sekarang ini. Dia seperti orang marhaen melihat Masyumi. 

“Makanya yang disebut syariat Islam itu ingatannya adalah wong-wong (orang) Wahabi. Ingatannya ke Masyumi, yang ingin membawa syaraiat Islam ke dasar negara. Kalau ditanya anti-Islam atau tidak, tanya aja Sukmawati, Megawati, Rahmawati, agamanya apa? Islam kan? Buat apa PDIP punya Baitul Muslimin kalau bukan orang Islam,” jelasnya. 

Karena itulah, penulis buku Fatwa Rasolusi Jihad tersebut, menganjurkan untuk membaca seseorang atau kalangan tertentu dengan cara pandang emik mereka. Bukan dengan tafsir. Karena tafsir bisa dipelintir. 

Lebih lanjut, ia mengatakan, ayahnya Sukmawati, yaitu Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Kalau diteliti, dekrit itu berisi, Pancasila kita kembali pada Piagam Jakarta. Sementara itu, sila pertama Piagam Jakarta isinya adalah ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

“Dekrit itu belum dicabut. Enggak pernah dianulir sampai sekarang. Tak ada Tap MPR yang membatalkan Dekrit 5 Juli itu,” jelasnya. (Abdullah Alawi) 

0 komentar: